Kewajiban mengibarkan bendera
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan Pasal 7 ayat (3) mengatur tentang kewajiban mengibarkan bendera Merah Putih bagi setiap warga negara yang memiliki hak penggunaan rumah, gedung kantor, satuan pendidikan, transportasi publik dan transportasi pribadi di wilayah Indonesia, serta kantor perwakilan diplomatik Indonesia di luar negeri pada tanggal 17 Agustus.[45]
memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Republik Romawi (bahasa Latin: Res Publica Romana) adalah sebuah pemerintahan republik yang berdiri di semenanjung Italia dari tahun 509 SM hingga 27 SM. Republik ini menggantikan sistem monarki Romawi setelah penggulingan Raja Tarquinius Superbus, raja ketujuh sekaligus yang terakhir dari Roma. Republik Romawi dikenal sebagai salah satu negara paling berpengaruh dalam sejarah dunia, yang pada puncaknya menguasai sebagian besar kawasan Mediterania. Pemerintahan Republik Romawi didasarkan pada sistem checks and balances, yang melibatkan lembaga-lembaga seperti Senat, Majelis Rakyat, dan para magistratus yang dipimpin oleh dua konsul. Sistem ini bertujuan untuk mencegah kekuasaan absolut di tangan satu orang.
Republik Romawi berkembang melalui berbagai fase, dimulai dengan konsolidasi kekuasaan di Italia. Melalui serangkaian peperangan, termasuk Perang Punisia melawan Kartago, Republik memperluas wilayahnya hingga mencakup wilayah Eropa Barat, Afrika Utara, dan Asia Kecil. Perekonomian Romawi pada masa ini sangat bergantung pada pertanian, perdagangan, dan perbudakan. Perluasan wilayah ini diiringi dengan reformasi militer yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Gaius Marius, yang memberikan kesempatan bagi warga negara Romawi dari golongan bawah untuk masuk dalam angkatan bersenjata.
Namun, perkembangan ini juga membawa tantangan yang signifikan bagi stabilitas politik Republik. Ketimpangan sosial, korupsi, dan konflik internal di antara para elit Romawi memicu ketegangan yang menyebabkan terjadinya beberapa perang saudara. Meskipun beberapa upaya reformasi dilakukan, seperti reformasi agraria oleh Tiberius dan Gaius Gracchus, ketidakstabilan politik semakin meningkat, terutama dengan munculnya tokoh militer yang memiliki kekuasaan besar seperti Julius Caesar. Konflik yang melibatkan Caesar dan rival politiknya memuncak pada akhir Republik, dengan Caesar mendeklarasikan dirinya sebagai diktator seumur hidup pada 44 SM.
Republik Romawi secara resmi berakhir pada tahun 27 SM, ketika Augustus (Oktavianus) dinyatakan sebagai princeps, atau pemimpin pertama, oleh Senat Romawi, menandai awal dari Kekaisaran Romawi. Perubahan ini menandai transisi dari sistem pemerintahan republik ke sistem pemerintahan kekaisaran, di mana kekuasaan yang sebelumnya terdesentralisasi di bawah Republik kini berpusat di tangan satu orang penguasa.
Republik didirikan setelah penggulingan raja terakhir Romawi, Lucius Tarquinius Superbus, yang dikenal karena pemerintahannya yang tiran dan tidak populer. Pemberontakan melawan Tarquinius dipicu oleh insiden yang melibatkan putranya, Sextus Tarquinius, yang memperkosa Lucretia, seorang wanita bangsawan Romawi yang kemudian bunuh diri karena rasa malu dan kesedihan.[2] Pendirian Republik Romawi berawal dari gagasan kalangan bawah untuk memperluas dan mengembangkan Kerajaan Romawi.[3] Kejadian ini memicu kemarahan di kalangan bangsawan Romawi, dipimpin oleh Lucius Junius Brutus, yang menggalang dukungan rakyat untuk menggulingkan raja dan menghapuskan monarki. Setelah penggulingan Tarquinius, Brutus dan Collatinus, suami Lucretia, diangkat sebagai konsul pertama Republik Romawi, sebuah jabatan eksekutif yang menggantikan kekuasaan raja.[3] Dengan pendirian republik, sistem pemerintahan baru ini mengedepankan konsep checks and balances melalui pembagian kekuasaan antara Konsul Romawi, Senat Republik Romawi, dan Majelis Rakyat, serta pengenalan prinsip tahunan dalam pergantian jabatan untuk mencegah dominasi kekuasaan oleh individu tertentu.[4]
Perluasan wilayah Republik Romawi merupakan salah satu aspek paling signifikan dalam sejarah Romawi, yang berlangsung secara bertahap selama lebih dari lima abad.[5] Proses ini dimulai segera setelah pendirian republik pada 509 SM, ketika Romawi masih merupakan kota kecil yang bersaing dengan tetangganya di Italia Tengah. Dalam tahap awal, Romawi terlibat dalam serangkaian konflik dengan suku-suku tetangga, termasuk Etruria, Latin, dan Sabini, yang sering kali berlangsung dalam bentuk peperangan kecil untuk mempertahankan dan memperluas pengaruh mereka di wilayah Latium. Perang Latin (340–338 SM) merupakan titik balik penting di mana Romawi berhasil mengalahkan Liga Latin dan mengukuhkan dominasinya atas Italia Tengah, yang memungkinkan Romawi untuk memperluas kontrolnya hingga ke Italia Selatan, terutama melalui penaklukan terhadap suku-suku Samnium dalam Perang Samnitik (343–290 SM). Keberhasilan dalam konflik-konflik ini memberikan fondasi bagi Romawi untuk melakukan ekspansi lebih lanjut dan menempatkan mereka sebagai kekuatan utama di Semenanjung Italia.[6]
Periode berikutnya dalam perluasan Republik Romawi ditandai oleh serangkaian perang besar yang memperluas kekuasaan Romawi jauh melampaui Italia.[6] Perang Punisia (264–146 SM) melawan Kartago menjadi salah satu konflik yang paling berpengaruh, di mana Romawi akhirnya berhasil menguasai wilayah-wilayah penting di Mediterania, termasuk Sisilia, Sardinia, Spanyol, dan Afrika Utara, setelah kemenangan mutlak di Perang Punisia Ketiga yang mengakibatkan penghancuran Kartago.[7] Kemenangan dalam perang ini tidak hanya memperluas wilayah Republik Romawi, tetapi juga memberikan Romawi kendali atas jalur perdagangan utama di Mediterania, yang memperkuat posisi ekonominya dan memperluas pengaruhnya ke wilayah Mediterania Barat. Di saat yang sama, Romawi juga terlibat dalam serangkaian konflik di Mediterania Timur, terutama melalui Perang Makedonia (214–148 SM) dan Perang Seleukia, yang menyebabkan penaklukan Makedonia dan Yunani, serta kekuasaan atas sebagian besar wilayah Asia Kecil. Penaklukan ini tidak hanya memperluas kekuasaan Romawi di wilayah-wilayah baru, tetapi juga membawa budaya dan tradisi Helenistik ke dalam lingkup Romawi, yang selanjutnya memperkaya kehidupan intelektual dan budaya Romawi.[6]
Pada abad terakhir Republik Romawi, ekspansi terus berlanjut di bawah pimpinan jenderal-jenderal besar seperti Gaius Marius, Sulla, Pompey, dan Julius Caesar, yang memimpin serangkaian kampanye militer untuk menaklukkan wilayah-wilayah baru. Julius Caesar, misalnya, menaklukkan Galia dalam kampanye yang berlangsung dari 58 hingga 50 SM, yang secara efektif menggandakan wilayah Romawi dan membawa kekayaan besar serta ribuan budak ke Roma. Sementara itu, Pompey memperluas kekuasaan Romawi di Timur dengan menaklukkan wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh Kekaisaran Seleukia dan Armenia, serta mendirikan provinsi-provinsi baru seperti Suriah dan Yudea.[8]
Akhir pemerintahan Republik Romawi ditandai oleh serangkaian krisis politik dan militer yang berlangsung selama beberapa dekade pada abad pertama SM, yang berpuncak pada transisi dari republik ke kekaisaran. Krisis ini dimulai dengan ketegangan sosial yang diakibatkan oleh ketidaksetaraan ekonomi yang semakin dalam, persaingan politik antara faksi-faksi elit, dan reformasi agraria yang gagal, seperti yang diusulkan oleh Tiberius dan Gaius Gracchus. Konflik ini memicu serangkaian perang saudara, dimulai dengan Perang Saudara Marius dan Sulla pada awal abad pertama SM, yang semakin melemahkan institusi-institusi republik.[9] Ketegangan meningkat dengan munculnya Triumvirat Pertama pada tahun 60 SM, sebuah aliansi politik antara Julius Caesar, Pompey, dan Crassus, yang semakin merusak sistem pemerintahan republik tradisional dan menempatkan kekuasaan di tangan segelintir individu.[10] Kematian Crassus dan persaingan yang semakin tajam antara Caesar dan Pompey memicu perang saudara yang berakhir dengan kemenangan Caesar dan konsolidasi kekuasaan di tangannya.[9] Namun, setelah pembunuhan Caesar pada tahun 44 SM oleh sekelompok senator yang dipimpin oleh Brutus dan Cassius, republik kembali terjerumus ke dalam kekacauan, dengan munculnya Triumvirat Kedua yang terdiri dari Octavianus, Markus Antonius, dan Lepidus. Pertikaian antara Octavianus dan Antonius memuncak dalam Pertempuran Actium pada 31 SM, di mana Octavianus berhasil mengalahkan Antonius dan Cleopatra. Kemenangan Octavianus menandai berakhirnya perang saudara dan, pada tahun 27 SM, ia diangkat menjadi Augustus, penguasa tunggal Romawi, yang secara efektif mengakhiri pemerintahan Republik Romawi dan memulai era Kekaisaran Romawi. Dengan ini, struktur republik yang telah berfungsi selama lebih dari 450 tahun digantikan oleh pemerintahan monarki yang tersentralisasi, dengan Augustus sebagai kaisar pertama.[11]
Sejak Republik Romawi memulai ekspansi skala besar ke arah timur pada abad ke-2 SM, Konstitusi Republik Romawi tidak lagi seimbang. Timbul perbedaan kekuatan politik antara monarki, aristokrasi dan demokrasi. Polibios yang menjadi tahanan dari Bangsa Yunani di Republik Romawi mengemukakan bahwa perbedaan kekuatan politik ini berkaitan dengan stabilitas pemerintahan di Republik Romawi dalam skala institusi. Konstitusi Republik Romawi yang menyatakan bahwa kekuasaan berasal dari rakyat hanya menjadi aturan tertulis yang dilindungi oleh Senat Republik Romawi.[12]
Republik Romawi memiliki beberapa lembaga politik sebagai struktur pemerintahan negara, seperti senat, dewan legislatif, dewan centuria, dewan suku, dewan pleb serta hakim eksekutif.[butuh rujukan]
Senat memiliki wewenang yang disebut Senatus consultum, yaitu pertimbangan senat untuk hakim dan biasanya dipatuhi oleh para hakim. Meskipun secara teknis tidak punya peran resmi dalam konflik militer, dalam praktiknya Senat adalah pihak yang mengawasi masalah seperti ini. Senat juga mengatur administrasi masyarakat sipil. Persyaratan untuk menjadi seorang senator adalah memiliki tanah senilai minimal 100.000 denarii, terlahir dari golongan bangsawan, dan telah memegang jabatan publik minimal sekali.[butuh rujukan]
Dewan Legislatif memiliki kewenangan untuk menentukan hakim, memvonis hukuman mati, berwenang untuk menyatakan perang dan perjanjian damai, dan membentuk persekutuan. Ada dua macam dewan legislatif,yaitu comitia dan concilia. Comitia merupakan dewan dari semua kelompok masyarakat. Sedangkan concilia merupakan dewan dari kelompok masyarakat tertentu.[butuh rujukan]
Masyarakat Roma dikelompokan berdasarkan centuria-centuria dan suku-suku. Centuria-centuria dan suku-suku berkumpul membentuk kelompok mereka sendiri yang disebut Comitia Centuriata (Dewan Centuria). Pemimpin Dewan Centuria biasanya adalah seorang konsul. Dewan Centuria berwenang memilih hakim-hakim (konsul, praetor, dan censor), mengesahkan hasil suatu sensus, menyatakan perang, dan mengurusi kasus yudisial tertentu.
Dewan suku (Comitia Tributa) dipimpin oleh seorang konsul. Konsul tersebut terdiri dari tiga puluh lima suku. Suku-suku tersebut tidak didasarkan pada pertalian etnik atau kekerabatan, melainkan dibentuk berdasarkan pembagian wilayah geografis. Dewan suku berwenang memilih quaestor, curule, aedile, dan tribunal militer.[butuh rujukan]
Dewan Pleb adalah perwakilan dari kelompok Pleb. Mereka memilih pejabat mereka sendiri, tribunal pleb, dan tribunal aedile. Biasanya Tribunal Pleb yang memimpin Dewan Pleb. Kelompok ini dapat bertindak sebagai pengadilan banding.[butuh rujukan]
Tiap hakim dapat membatalkan keputusan dari hakim yang setara atau di bawah tingkatannya, Tribunal Pleb dan Aedile. Hakim-hakim terdiri dari konsul, praetor, censor, aedile, quaestor, tribunal, dan diktator.[butuh rujukan]
Ketika Yulius Kaisar memimpin Republik Romawi, seluruh wilayah Galia dikuasai oleh negara ini.[13] Namun, Republik Romawi berakhir setelah Yulius Kaisar mengadakan perubahan bentuk pemerintahan dari republik menjadi kekaisaran.[14] Perubahan ini diawali dengan Perang Saudara Caesar yang dimenangkan oleh Yulius Kaisar. Ia kemudian menetapkan pemusatan pemerintahan dan menetapkan dirinya sebagai Diktator Romawi seumur hidup.[15] Namun Yulius Kaisar mati setelah ditusuk oleh Marcus Junius Burtus dan beberapa anggota Senat Republik Romawi pada 15 Maret 44 SM. Karena kematian Yulius Kaisar, terjadi lagi perang saudara yang mengakhiri Republik Romawi. Perang ini dimenangkan oleh cucu lelaki dan putra angkat Yulius Kaisar yang bernama Augustus yang kemudian mendirikan Kekaisaran Romawi.[16]
Peristiwa Rengasdengklok
Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana yang terbakar gelora kepahlawanannya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka. Pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945, mereka bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) serta Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai Peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Soekarno dan Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.[19]
Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Achmad Soebardjo melakukan perundingan. Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta.[20] Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang ke rumah masing-masing. Mengingat bahwa Hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10.00 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda Tadashi untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.[21][22]
Peringatan detik-detik proklamasi
Peringatan detik-detik Proklamasi di Istana Merdeka dipimpin oleh Presiden RI selaku Inspektur Upacara. Upacara dimulai sekitar pukul 10.00 WIB untuk memperingati awal upacara Proklamasi tahun 1945. Seremoni peringatan biasanya disiarkan secara langsung oleh seluruh stasiun televisi nasional Indonesia. Acara-acara pada pagi hari termasuk: penembakan meriam dan sirene, pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih (Bendera Indonesia), pembacaan naskah Proklamasi, dan lain sebagainya. Pada sore hari sekira pukul 17.00 terdapat acara penurunan bendera Sang Saka Merah Putih.
Pembacaan naskah proklamasi
Pada pagi hari, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Mohammad Tabrani, dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10.00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Setelah itu, Sang Saka Merah Putih, yang telah dijahit oleh Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil wali kota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera, tetapi ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya.[33] Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Monumen Nasional.[34]
Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S. Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, tetapi ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.[33]
Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 1945. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan Mohammad Hatta terpilih atas usul dari Otto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
Penyusunan naskah Proklamasi
Pada malam hari setelah Peristiwa Rengasdengklok, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno–Hatta yang diantar oleh Maeda dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokyo bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi izin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat "bushido", ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu. Sukarno–Hatta lantas meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokyo dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan.
Setelah dari rumah Nishimura, mereka menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No. 1) diiringi oleh Shunkichiro Miyoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi.[24] Setelah menyapa Sukarno dan Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Teks proklamasi ditulis di ruang makan laksamana Tadashi Maeda. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Soekarno, Hatta, dan Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M. Diah, Sayuti Melik, Soekarni, dan Soediro.[25][26] Miyoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif.[27] Tentang hal ini, Soekarno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti "transfer of power".[22][24] Hatta, Subardjo, B.M. Diah, Sukarni, Sudiro dan Sayuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima, tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih didengungkan.[28]
Menurut sejarawan Benedict Anderson, kata-kata dan deklarasi proklamasi tersebut harus menyeimbangkan kepentingan kepentingan internal Indonesia dan Jepang yang saling bertentangan pada saat itu.[22] Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung dari pukul dua hingga empat dini hari.[29] Setelah konsep selesai disepakati, Soekarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia,[6] dan Sayuti menyalin dan mengetik naskah tersebut,[30][31] menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan Angkatan Laut Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler.[32] Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56[33] (sekarang Jalan Proklamasi Nomor 1).
Klip suara naskah yang dibacakan oleh Soekarno di studio RRI
Tempat pembacaan teks naskah Proklamasi Otentik oleh Soekarno untuk pertama kali adalah di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, tepat pada tanggal 17 Agustus 1945 (hari yang diperingati sebagai "Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia"), pukul 11.30 waktu Nippon (sebutan untuk negara Jepang pada saat itu). Waktu Nippon adalah merupakan patokan zona waktu yang dipakai pada zaman pemerintah pendudukan militer Jepang kala itu. Namun perlu diketahui pula bahwa pada saat teks naskah Proklamasi itu dibacakan oleh Bung Karno, waktu itu tidak ada yang merekam suara ataupun video, yang ada hanyalah dokumentasi foto.
Suara asli dari Soekarno saat membacakan teks naskah Proklamasi yang sering kita dengar saat ini adalah bukan suara yang direkam pada tanggal pada tanggal 17 Agustus 1945 tetapi adalah suara asli Soekarno yang direkam pada tahun 1951 di studio Radio Republik Indonesia (RRI), yang sekarang bertempat di Jalan Medan Merdeka Barat 4–5, Jakarta Pusat. Dokumentasi berupa suara asli hasil rekaman atas pembacaan teks naskah Proklamasi oleh Bung Karno ini dapat terwujudkan adalah berkat prakarsa dari salah satu pendiri RRI, Jusuf Ronodipuro.[41]
Perbedaan teks naskah Proklamasi Klad dan Otentik
Di dalam teks naskah Proklamasi Otentik sudah mengalami beberapa perubahan yaitu sebagai berikut:
Teks pidato proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia
Berikut ini adalah teks pidato Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Saudara-saudara sekalian,
Penyebaran teks proklamasi
Wilayah Indonesia yang sangat luas, sedangkan komunikasi dan transportasi sekitar tahun 1945 masih sangat terbatas, ditambah dengan hambatan dan larangan untuk menyebarkan berita proklamasi oleh pasukan Jepang di Indonesia, merupakan sejumlah faktor yang menyebabkan berita proklamasi mengalami keterlambatan di sejumlah daerah, terutama di luar Jawa. Penyebaran proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di daerah Jakarta dapat dilakukan secara cepat dan segera menyebar secara luas. Pada hari itu juga, teks proklamasi telah sampai di tangan Kepala Bagian Radio dari Kantor Berita Domei (sekarang Kantor Berita ANTARA), Waidan B. Palenewen. Ia menerima teks proklamasi dari seorang wartawan Domei yang bernama Syahruddin. Kemudian ia memerintahkan F. Wuz (seorang markonis), supaya berita proklamasi disiarkan tiga kali berturut-turut. Baru dua kali F. Wuz melaksanakan tugasnya, masuklah orang Jepang ke ruangan radio sambil marah-marah, sebab mengetahui berita proklamasi telah tersiar ke luar melalui udara.[43]
Meskipun orang Jepang tersebut memerintahkan penghentian siaran berita proklamasi, tetapi Waidan Palenewen tetap meminta F. Wuz untuk terus menyiarkan. Berita proklamasi kemerdekaan diulangi setiap setengah jam sampai pukul 16.00 saat siaran berhenti. Akibat dari penyiaran tersebut, pimpinan tentara Jepang di Jawa memerintahkan untuk meralat berita dan menyatakan sebagai kekeliruan. Pada tanggal 20 Agustus 1945 pemancar tersebut disegel oleh Jepang dan para pegawainya dilarang masuk. Sekalipun pemancar pada kantor Domei disegel, para pemuda bersama Jusuf Ronodipuro (seorang pembaca berita di Radio Domei) ternyata membuat pemancar baru dengan bantuan teknisi radio, di antaranya Sukarman, Sutamto, Susilahardja, dan Suhandar. Mereka mendirikan pemancar baru di Menteng 31, dengan kode panggilan DJK 1. Dari sinilah selanjutnya berita proklamasi kemerdekaan disiarkan.
Usaha dan perjuangan para pemuda dalam penyebarluasan berita proklamasi juga dilakukan melalui media pers dan surat selebaran. Hampir seluruh harian di Jawa dalam penerbitannya tanggal 20 Agustus 1945 memuat berita proklamasi kemerdekaan dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Harian Suara Asia di Surabaya merupakan koran pertama yang memuat berita proklamasi. Beberapa tokoh pemuda yang berjuang melalui media pers antara lain B.M. Diah, Sayuti Melik, dan Sumanang. Proklamasi kemerdekaan juga disebarluaskan kepada rakyat Indonesia melalui pemasangan plakat, poster, maupun coretan pada dinding tembok dan gerbong kereta api, misalnya dengan slogan Respect Our Constitution, August 17!!! (Hormatilah Konstitusi Kami, 17 Agustus!!!). Melalui berbagai cara dan media tersebut, akhirnya berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dapat tersebar luas di wilayah Indonesia dan di luar negeri. Meskipun menggunakan banyak media dan alat penyebaran, sebelum tahun 2005, pihak Belanda sebagai penjajah Indonesia tak mengakui Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 (de facto) melainkan tahun 1949 tanggal 27 Desember sebagaimana pengakuan PBB (de jure)[44] sebab mereka berpendapat bahwa pada tahun 1945, kekuasaan di Indonesia diserahkan kepada Sekutu, bukan dibebaskan oleh Jepang. Di samping melalui media massa, berita proklamasi juga disebarkan secara langsung oleh para utusan daerah yang menghadiri sidang PPKI. Berikut ini para utusan PPKI yang ikut menyebarkan berita proklamasi:
Naskah baru setelah mengalami perubahan
Teks naskah Proklamasi yang telah mengalami perubahan, yang dikenal dengan sebutan naskah "Proklamasi Otentik", adalah merupakan hasil ketikan Sayuti Melik, seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan Proklamasi, yang isinya adalah sebagai berikut:
Tahun pada kedua teks naskah Proklamasi di atas (baik pada teks naskah Proklamasi Klad maupun pada teks naskah Proklamasi Otentik) tertulis angka "tahun 05" yang merupakan kependekan dari angka "tahun 2605", karena tahun penanggalan yang dipergunakan pada zaman pemerintah pendudukan militer Jepang saat itu adalah sesuai dengan tahun penanggalan yang berlaku di Jepang, yang kala itu adalah "tahun 2605".